Kerajaan
1000 Tahun (Millenialisme)
Doktrin
A-Milleanilisme dan Gereja/Aliran Penganutnya
I.
Pendahuluan
Kita telah mengenal atau memahami mengenai Langit dan Bumi Baru yang membawa
kita kedalam pemahaman eskatologi. Sebagai lanjutan dari pembahasan tersebut,
muncul pemahaman tentang Kerajaan 1000 tahun bagaimana kah sebenarnya kerajaan
1000 Tahun ini saya akan mencoba mengulasnya dari beberapa sumber yang saya kutip semoga bermanfaat
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian
Amilenialisme
Secara tertulis istilah
milenium hanya ditemukan di Wahyu 20:1-7. Kata seribu tahun disebut sebanyak
enam kali. Kata Latin “millennium” berarti seribu tahun, berasal dari dua kata
,“mille” artinya seribu dan “annus” yaitu tahun. Terminologi ini menunjuk
kepada periode seribu tahun. Kata milenium dalam bahasa latin mempunyai tiga
makna : “a. Menunjukkan angka bilangan = 1.000 (seribu) ; b. Menunjukkan
kedamaian negara, masa keemasan dan kemakmuran masyarakat ; c. Dari sudut
teologia kata ini menunjukkan iblis terikat selama seribu tahun, dan orang
Kristen akan menjadi raja bersama Kristus selama seribu tahun.”[1]
Istilah amileanisme diawali dengan preposisi a sehingga
mengesankan pendukung pandangan ini sama sekali tidak tertarik dengan masa
seribu tahun. Namun hal ini tidak ada indikasi bahwa tidak meyakini milenium,
hanya saja tidak dalam pengertian harfiah tetapi simbolis. Istilah ini adalah
suatu masa yang jangka waktunya tidak bisa ditentukan. Houkema, seorang
amilenialis berkata “milenium yang disebutkan dalam Wahyu 20 tidak secara
eksklusif menunjuk kepada masa yang akan datang, melainkan sekarang ini dalam
proses untuk digenapi.[2]
2.2.
Latar
Belakang Amilenialisme
2.2.1.
Kitab
Wahyu dan Milenium
Untuk
memahami tentang kerajaan seribu tahun dalam Wahyu 20, tidak bisa tidak harus
dimulai dengan memahami secara menyeluruh konteks kitab itu sendiri. Hal ini
bukan saja untuk mendapatkan pijakan yang tepat tetapi juga karena sebagai
kitab nubuatan kitab Wahyu memiliki karakter yang berbeda dengan buku-buku
lainnya. Selain penuh dengan simbol-simbol, penglihatan-penglihatan,
binatang-binatang aneh, materai dan pengungkapan kata sangkakala serta cawan,
Leon Morris juga mengatakan : " Kitab ini menyajikan suatu jenis
kesusastraan yang cukup lazim pada waktu gerakan Kristen dimulai, namun
sekarang tidak dipakai orang lagi. Karena itu dibutuhkan suatu usaha khusus
apabila kita mau memahami apa yang dikatakan penulis kepada kita.'[3]
Rasul
Yohanes merupakan penulis kitab ini. Wahyu ditulis ketika gereja perdana
mengalami “penganiayaan dan kesulitan.”“Penganiayaan
terjadi pada periode pemerintahan Domitianus, yakni 95 M.” Menurut
William Barclay : ”Yohanes, ketika melihat hal-hal ini (penglihatan), berada di
Pulau Patmos, dihukum kerja paksa di pertambangan oleh Kaisar Domitianus.” “Yohanes menulis kitab Wahyu untuk membesarkan hati
orang-orang Kristen abad pertama yang sedang mengalami penderitaan besar.” “Kitab Wahyu awalnya dikirimkan kepada tujuh gereja
lokal yang ada di Asia Kecil.”Sedangkan tema dari kitab
Wahyu adalah “The victory of Christ and His Church over the dragon (Satan) and
his helpers.”
Berkenaan
dengan penafsiran kitab Wahyu, George Eldon Ladd sendiri sebagai salah satu
ahli Perjanjian Baru mengakui bahwa, “Penafsiran kitab ini adalah yang paling
sulit dan rumit dari semua kitab yang ada dalam Perjanjian Baru.” Padahal seperti yang dikatakan Wilbur M. Smith :
“Sistem penafsiran yang dianut seseorang akan sangat mempengaruhi pemahaman
orang itu mengenai apa yang diajarkan oleh kitab ini.”[4]
Secara
umum ada empat sistem penafsiran dasar yang berbeda terhadap kitab Wahyu,
yaitu:[5]
penafsiran preteris, historis, futuris, dan simbolis atau idealis.
a. Penafsiran
Preteris.
“Pandangan
ini melihat simbolisme kitab Wahyu hanya berhubungan dengan kejadian-kejadian
pada saat ia ditulis.” “Penafsirannya menekankan
bahwa Wahyu adalah produk gereja yang sedang menghadapi ancaman penganiayaan
yang dahsyat oleh bangsa Romawi.” “Bagi penganut
penafsiran preteris, kitab Wahyu tidak lagi berfungsi sebagai nubuat, dan sama
saja dengan tulisan apokalips yang lain di waktu itu, misalnya IV Ezra.” Pemikiran ini berdasakan alasan bahwa “sang pelihat
dibuat ngeri oleh kemungkinan-kemungkinan terjadinya kejahatan yang melekat
pada kekaisaran Romawi, dan ia memakai bahasa simbolis untuk memprotesnya, juga
untuk menyatakan keyakinannya bahwa Allah akan campur tangan untuk
memberlakukan apa yang sesuai dengan kehendak-Nya.”
b. Penafsiran
Historis.
“Kitab
Wahyu, khususnya berbagai nubuat tentang materai, sangkakala dan cawan,
mengemukakan berbagai peristiwa tertentu di dalam sejarah dunia yang berkaitan
dengan kesejahteraan gereja sejak abad pertama hingga modern ini.” Pandangan ini menganggap “Wahyu menyajikan cerita
yang terus menerus tentang segenap periode sejarah.” Sebagai
konsekuensinya, sepertinya ”setiap peristiwa penting dalam sejarah agama
Kristen diberi bayangan secara luas, hingga kitab Wahyu menjadi semacam
kalender peristiwa yang akan terjadi.”
c.
Penafsiran
Futuris.
Meskipun
kelompok ini melihat Wahyu sebagai kitab nubuatan, dan dalam proses
penafsirannya lebih dikenal dengan harafiah, namun demikian kelompok ini
tidaklah tunggal. Kaum futuris dibagi menjadi menjadi dua : futuris ekstrim dan
futuris moderat.
Futuris
ekstrim “menafsirkan kitab Wahyu menurut pernyataan dispensasinya tentang dua
program ilahi yang berbeda, yaitu bagi Israel dan gereja. Segenap materai,
sangkakala dan cawan adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa
kesusahan besar ; dan karena hal ini adalah masa “sengsara bagi Yakub”
(Yer.30:7), maka sesuai dengan definisinya, hal ini menyangkut Israel, dan
bukan gereja.” Kelompok ini lebih dikenal dengan
nama dispensasionalis.
Futuris
moderat “Wahyu dilihat sebagai gambaran penggenapan tujuan penebusan Allah,
yang melibatkan hukuman dan keselamatan.” Golongan
ini dengan tegas mengambil posisi tentang kitab Wahyu : “Kitab Wahyu adalah
kitab nubuat. Menyangkal kenyataan ini berarti menyangkal gaya penulisan, tema
dan berbagai peristiwa yang disebutkan dalam kitab ini.”
d.
Penafsiran Simbolis atau Idealis.
“Pandangan
ini menandaskan bahwa tujuan Wahyu ialah menopang orang-orang Kristen yang
teraniaya dan menderita untuk bertahan sampai akhir hidup mereka.” Golongan ini “melihat Wahyu sebagai buku yang hanya
berisi lambang-lambang mengenai kuasa-kuasa rohani yang bekerja dalam dunia.
Berita buku Wahyu memberi kepastian kepada orang-orang saleh yang menderita
tentang kemenangan akhir dari Allah dan tidak mengandung prediksi tentang
peristiwa-peristiwa konkret di masa lampau atau di masa yang akan datang.”
Menurut
kelompok ini “tujuan penulisan kitab Wahyu bukan membina gereja mengenai masa
depan, bukan untuk menubuatkan berbagai peristiwa tertentu, tetapi sekadar
untuk mengajarkan sejumlah prinsip rohani yang mendasar.”
Selanjutnya,
untuk memahami makna teologis dari milenium, sebenarnya konsep tentang kerajaan
mesianis yang terbatas merupakan pengharapan orang Yahudi. Mereka mengharapkan
suatu keadaan yang lebih sempurna dari sekarang. Namun dalam konteks Perjanjian
Baru hal ini tidak bisa diterapkan. “Gagasan-gagasan Yahudi ini tidak membantu
penafsiran ajaran PB, karena PB tidak seperti orang-orang Yahudi, tidak
berpikir tentang suatu zaman baru yang mulai hanya pada masa yang akan datang.
Menurut PB, zaman baru itu sudah mulai dalam Kristus.”[6]
Secara
harafiah kepentingan adanya milenium di bumi, menurut Peter H. Davids
didasarkan pada tiga alasan : “Pertama, milenium merupakan ganjaran
bagi para martir ( Wahyu 13:15). Sekarang mereka mendapatkan ganjaran, yakni
kehidupan yang kekal dan memerintah bersama Kristus ; Kedua,
milenium menunjukkan kemenangan Kristus. Kekuasaan-Nya selama seribu tahun akan
mempertahankan pemerintahan yang telah dianugerahkan Allah kepada-Nya dan yang
sekarang tersembunyi di surga ; Ketiga, milenium mempertahankan
pemerintahan Allah yang benar, sejarah penebusan. Mungkinkah Allah tidak bisa
memerintah dunia ini secara lebih baik dari umat manusia (dan Iblis) ? Milenium
menunjukkan bahwa Allah dapat memerintah secara benar dan adil dalam sejarah.
Dia tidak perlu mengakhiri sejarah begitu saja. Barangkali inilah saatnya orang
akan mengalami pemerintahan adil yang telah ditolak oleh dunia (tetapi
sebenarnya dirindukan) sejak Kejatuhan manusia.”[7]
Sebenarnya
diantara para ahli Perjanjian Baru memiliki pemahaman yang sama tentang
pemerintahan Kristus atas umat-Nya. Namun yang menjadi masalah tetap pada arti
harafiah dan figuratifnya milenium. Bagi G. E. Ladd : “Apa pun latar belakang
historis di balik konsep ini, kita masih harus mengajukan pertanyaan tentang
segi kepentingan teologisnya dalam Perjanjian Baru. Di sini kita tidak
menemukan petunjuk, karena Perjanjian Baru tidak pernah menjelaskan tentang
perlunya kerajaan sementara ini, kecuali hanya menyebutkan bahwa ini penting
dalam mewujudkan pemerintahan Kristus ( I Kor 15:24 dst ). Sebenarnya, inilah
yang menjadi salah satu alasan teologis tentang pentingnya kerajaan yang
demikian. Kristus sekarang sedang memerintah sebagai Tuhan dan Raja, namun
pemerintahan-Nya masih terselubung, tidak kelihatan, dan tidak dikenal oleh
orang-orang beriman. Pengertian dunia hanya melihat pemerintahan Kristus
sebagai potensi yang belum terealisir. Jadi, jika masa sekarang adalah masa
pemerintahan Kristus yang terselubung dan kemuliaan yang tersembunyi dan masa
akan datang adalah masa pemerintahan Allah yang menyeluruh, maka kerajaan
milenium adalah manifestasi kemuliaan Kristus ketika kekuasaan, yang sekarang
telah dimiliki-Nya namun belum nampak, yang akan diserahkan-Nya kepada Bapa
pada Masa yang Akan Datang, akan diperlihatkan secara nyata di dalam dunia.” Kontradiksi
dengan konsep ini Donald Gutrie menyatakan : “ Memang, bahwa Kristus akan
memerintah tidak dapat disangkal, karena hal ini didukung oleh perikop-perikop
Perjanjian Baru lainnya ( I Kor 15:25 ; 2 Tim 2:12). Tetapi kita harus
hati-hati, karena kerajaan seribu tahun hanya disebutkan dalam Wahyu 20:1-10
dan tidak disebutkan lagi dalam bagian PB lainnya. Dalam wahyu 20:1-10 itu
konteksnya bersifat simbolik, yang berarti tidak dapat digunakan sebagai kunci
untuk penafsiran perikop-perikop lain yang tidak bersikap simbolik.”[8]
Sebagai
tambahan, yang pertama kali diperkirakan timbulnya
pandangan ini, ialah oleh Agustinus tahun 354-430 M, melalui tulisannya City of
God, dia berpendapat secara Literal bahwa Tuhan Yesus akan datang seribu Tahun
setelah kenaikan, tetapi ketika seribu Tahun sudah lewat dan tanpa kedatangan
Tuhan Yesus, mereka kembali menafsirkan tapi secara rohani dengan pendapat
Kerajaan Seribu Tahun adalah seluruh masa antara kedatangan Pertama sampai
dengan kedua kalinya.
2.2.2.
Pandangan
Amilenialisme
Pandangan
ini memahami bahwa masa seribu tahun bukan suatu durasi harafiah, melainkan
menunjuk kepada suatu masa yang sudah terjadi, sedang berlangsung dan yang
terus berlangsung hingga kegenapannya. Masa ini merupakan masa antara
kedatangan Kristus yang pertama dengan kedatangan-Nya yang kedua. Kerajaan
Allah sebagai pemerintahan Kristus atas orang-orang percaya, oleh pandangan
ini, saat ini juga sedang hadir di dalam dunia melalui Firman dan Roh Kudus.
Pada saat yang ini juga orang-orang percaya sedang terus menantikan
penyempurnaan kerajaan Allah di masa yang akan datang di dalam bumi yang baru.
Mereka menyadari meskipun Kristus telah menang atas dosa dan iblis, namun kuasa
iblis tetap ada bersama-sama dengan kerajaan Allah hingga akhir zaman. Kita
telah menerima berkat-berkat eskatologi pada masa sekarang, tetapi tetap
menantikan penggenapan dan kesempurnaannya pada masa yang akan datang saat Kristus
datang kedua kalinya. Oleh karena itu seorang amilenialis menantikan
digenapinya penyebaran Injil ke seluruh bangsa dan pertobatannya sebelum
kedatangan Kristus yang kedua.[9]
Para
penganut Amillenialisme percaya kerajaan Kristus sudah ada sejak zaman
kedatanganNya yang pertama dan sampai kedatangan yang kedua kali. Dan
Amillenialisme berpendapat bahwa Kerajaan Seribu Tahun itu tidak ada sebelum
dunia berakhir. Dan dikalangan Amillenialis ada dua perbedaan pendapat mengenai
Kerajaan Seribu Tahun. :
a. Pendapat
pertama, Penggenapan nats-nats millenium terjadi dimasa kini dengan adanya
gereja dibumi.
b.
Pendapat kedua, menyatakan penggenapan itu terjadi dengan adanya
orang-orang suci sekarang ini di surga
Dan kedua
pandangan ini tetap sepakat/setuju bahwa tidak ada kerajaan Seribu Tahun dibumi
dimasa mendatang. Dan mereka tidak percaya periode Kesusahan Tujuh Tahun
Harafiah sebelum kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, dan Periode
Pemerintahan Seribu Tahun secara Literal setelah kedatangan Tuhan Yesus yang
kedua kali.
Amilenialis memahami kedatangan Kristus yang kedua sebagai satu peristiwa tunggal, dan bukan
satu peristiwa dengan dua tahap di dalamnya. Pada saat Kristus datang kembali,
akan terjadi kebangkitan umum, bagi orang-orang percaya maupun tidak. Setelah
kebangkitan, orang-orang percaya yang masih hidup pada saat Kristus kembali,
akan diubahkan dan dimuliakan. Kedua macam orang percaya ini, yaitu orang
percaya yang dibangkitkan dan orang percaya yang diubahkan, akan diangkat dan
bertemu dengan Tuhan di awan-awan. Setelah
"pengangkatan" orang-orang percaya ini, maka Kristus akan menyudahi
kedatangan-Nya kembali dengan melaksanakan penghakiman akhir. Sesudah itu,
orang-orang yang tidak percaya akan dicampakkan ke dalam penghukuman kekal,
sedangkan orang-orang percaya akan menikmati segala berkat di dalam langit dan
bumi yang baru selama-lamanya.[10]
2.3.
Gereja-Gereja
yang Menganut Paham Amileanisme
2.3.1.
Gereja
Katholik[11]
Gereja Katolik sendiri
tidak menyebutnya sebagai amillennialism, tetapi "ecclesiological interpretation
of the Millennium." Beberapa Bapa Gereja sebelum konsili Nicea condong
menginterpretasilan secara literal seperti ini tetapi kemudian, interpretasi
ini digantikan dengan interpretasi allegorikal yang mengartikan 1000 tahun ini
sebagai simbol, sebagai 'jangka waktu yang cukup lama', sebagaimana teks angka
'1000' yang lain dalam Alkitab merupakan simbol dari jumlah yang banyak/
ribuan. Interpretasi ini diajarkan oleh St. Agustinus: ia mengartikan bahwa
1000 tahun kejayaan ini dimana Iblis diikat dan para kudus memimpin bersama
Kristus ini sebagai Gereja Katolik yang masuk ke dalam sejarah manusia untuk
menebarkan nilai-nilai Injil. Jadi keseribu tahun kejayaan ini mengacu pada era
Christendom.
Kristus telah mengikat
Iblis dengan korban sengsara dan salib-Nya. Namun demikian, Iblis terus
berusaha mempengaruhi banyak bangsa, sampai Gereja perlahan-lahan menyebar dan
mempengaruhi bangsa-bangsa untuk bertobat dan menerima nilai-nilai Injil,
walaupun dalam perwujudannya tetap terdapat pergumulan. Maka, ke 1000 tahun
tersebut adalah untuk diartikan sebagai simbol, yang mengacu pada arti jangka
waktu yang lama. sedangkan pelepasan ikatan Iblis itu dihubungkan dengan
kejayaan singkat suatu apostasy yang besar yang memuncak pada kejayaan
Anti-Kristus.
2.3.2.
Gereja
Kristen Protestan Angkola[12]
GKPA percaya bahwa
kemenangan Kristus yang meyakinkan atas dosa, kematian, dan setan telah terjadi
selama kedatangan pertama-Nya, maka pemerintahan milenial Kristus adalah
sekarang. Kerajaan Allah sudah hadir
sekarang di dunia ketika Kristus yang menang sedang memerintah umat-Nya dengan
Firman dan Roh-Nya. Namun juga
menantikan kerajaan yang sempurna dan mulia yang akan datang dalam bumi yang
baru. Kerajaan si jahat akan tetap ada
di samping kerajaan Allah sampai akhir jaman (Matius 13:24-30, 36-43). Bagi GKPA, janji-janji Perjanjian Lama sudah
dipenuhi dalam kedatangan pertama Kristus yang menentukan (the already)
dan akan disempurnakan pada kedatangan-Nya yang kedua (the not yet).
Sebelum kedatangan Yesus yang kedua
kali, akan ada hari-hari terakhir di mana kejadian-kejadian di bawah ini akan
terjadi :
·
Pemberitaan Injil
sebagai suatu kesaksian kepada bangsa-bangsa (Matius 24:14, 28:18-20, Roma
10:9-17) berlanjut di sepanjang milenium melalui gereja-Nya.
·
Pertobatan Israel sebagai
orang-orang pilihan pun terjadi melalui pemberitaan Injil dalam milenium ini
juga, karena Israel termasuk di antara “bangsa-bangsa” (tidak ada pengecualian).
·
Konflik yang terus
berlangsung antara kerajaan Allah dan kerajaan setan memunculkan penganiayaan,
kemurtadan, dan munculnya seorang pribadi Antikristus sesaat sebelum kedatangan
yang kedua. Perang, gempa bumi, dan kelaparan sebagai petunjuk-petunjuk
penghakiman Allah akan sering terjadi selama milenium masa gereja dan akan
makin sering pada “hari-hari terakhir”.
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas
bahwa kerajaan 1000 tahun atau millennium merupakan salah satu hasil dari
doktrin eskatologis yang terdapat Kitab Wahyu. Dari pemahaman tentang
millennium tersebut maka, lahirlah beberapa pandangan akannya, salah satunya
ialah paham Amileanisme. Paham ini memandang bahwa pengertian tentang kerajaan
1000 tahun tersebut tidaklah dapat dipahami secara harfiah karena sebenarnya
Kerajaan tersebut sudah ada sekarang sejak Kebangkitan Kristus hingga kepada
kedatangaanNya yang kedua kali. Paham ini dianut oleh Gereja Katholik, Aliran
Lutheran, Calvinis.
IV.
Daftar
Pustaka
Boettner,
Loraine, The
Millenium, USA : The Presbyterian and Reformed
Publishing Company, 1984
Hoekema, Anthony A., Alkitab
dan Akhir Zaman, Surabaya: Momentum, 2004
J.j, De Heer, Tafsiran
Alkitab Wahyu Yohanes, Jakarta: BPK-GM, 1973
Roberts
, Alexander
and James Donaldson, The Ante-Nicene Fathers: Translations of the Writings
of the Fathers Down to AD 325, Grand Rapids, Mich: Eerdmans, 1987
Walvoord
, John
F., Pedoman Lengkap Nubuat Alkitab,
Bandung: Kalam Hidup, 2003
Willmington, H.L., Eskatologi, Malang: Gandum
Mas, 1994
Hasil Wawancara dengan Pendeta A. Siregar M.Th tanggal
17 November 2015
http://meimanmorandusgulodotcom.wordpress.com/2013/08/06/kerajaan-seribu-tahun-eskatologi/
diakses tanggal 16
November 2015
pukul 20.50
WIB
http://meimanmorandusgulodotcom.wordpress.com/2013/08/06/kerajaan-seribu-tahun-eskatologi/ diakses tanggal 19 November 2015 pukul 21.00
[1] Loraine Boettner, The
Millenium, (USA : The
Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1984) 3-4
[2] http://meimanmorandusgulodotcom.wordpress.com/2013/08/06/kerajaan-seribu-tahun-eskatologi/
diakses tanggal 16 November 2015 pukul 20.50 WIB
[8] http://meimanmorandusgulodotcom.wordpress.com/2013/08/06/kerajaan-seribu-tahun-eskatologi/ diakses tanggal 16 November 2015 pukul 21.00
[10] Loraine Boettner. The Millenium, (USA: Presbyterian And reforemed Publising company, 1984), 114-115
[11] Alexander Roberts and James Donaldson, The Ante-Nicene
Fathers: Translations of the Writings of the Fathers Down to AD 325,
(Grand Rapids, Mich: Eerdmans, 1987), 764-765
Tidak ada komentar:
Posting Komentar