Rabu, 02 November 2016

Doktrin A-Millenialisme



Kerajaan 1000 Tahun (Millenialisme)
Doktrin A-Milleanilisme dan Gereja/Aliran Penganutnya
I.              Pendahuluan
Kita telah mengenal atau memahami mengenai Langit dan Bumi Baru yang membawa kita kedalam pemahaman eskatologi. Sebagai lanjutan dari pembahasan tersebut, muncul pemahaman tentang Kerajaan 1000 tahun bagaimana kah sebenarnya kerajaan 1000 Tahun ini saya akan mencoba mengulasnya dari beberapa sumber yang saya kutip semoga bermanfaat
II.           Pembahasan
2.1.       Pengertian Amilenialisme
Secara tertulis istilah milenium hanya ditemukan di Wahyu 20:1-7. Kata seribu tahun disebut sebanyak enam kali. Kata Latin “millennium” berarti seribu tahun, berasal dari dua kata ,“mille” artinya seribu dan “annus” yaitu tahun. Terminologi ini menunjuk kepada periode seribu tahun. Kata milenium dalam bahasa latin mempunyai tiga makna : “a. Menunjukkan angka bilangan = 1.000 (seribu) ; b. Menunjukkan kedamaian negara, masa keemasan dan kemakmuran masyarakat ; c. Dari sudut teologia kata ini menunjukkan iblis terikat selama seribu tahun, dan orang Kristen akan menjadi raja bersama Kristus selama seribu tahun.”[1] Istilah amileanisme diawali dengan preposisi a sehingga mengesankan pendukung pandangan ini sama sekali tidak tertarik dengan masa seribu tahun. Namun hal ini tidak ada indikasi bahwa tidak meyakini milenium, hanya saja tidak dalam pengertian harfiah tetapi simbolis. Istilah ini adalah suatu masa yang jangka waktunya tidak bisa ditentukan. Houkema, seorang amilenialis berkata “milenium yang disebutkan dalam Wahyu 20 tidak secara eksklusif menunjuk kepada masa yang akan datang, melainkan sekarang ini dalam proses untuk digenapi.[2]

2.2.       Latar Belakang Amilenialisme
2.2.1.      Kitab Wahyu dan Milenium
Untuk memahami tentang kerajaan seribu tahun dalam Wahyu 20, tidak bisa tidak harus dimulai dengan memahami secara menyeluruh konteks kitab itu sendiri. Hal ini bukan saja untuk mendapatkan pijakan yang tepat tetapi juga karena sebagai kitab nubuatan kitab Wahyu memiliki karakter yang berbeda dengan buku-buku lainnya. Selain penuh dengan simbol-simbol, penglihatan-penglihatan, binatang-binatang aneh, materai dan pengungkapan kata sangkakala serta cawan, Leon Morris juga mengatakan : " Kitab ini menyajikan suatu jenis kesusastraan yang cukup lazim pada waktu gerakan Kristen dimulai, namun sekarang tidak dipakai orang lagi. Karena itu dibutuhkan suatu usaha khusus apabila kita mau memahami apa yang dikatakan penulis kepada kita.'[3]
Rasul Yohanes merupakan penulis kitab ini. Wahyu ditulis ketika gereja perdana mengalami “penganiayaan dan kesulitan.”“Penganiayaan terjadi pada periode pemerintahan Domitianus, yakni 95 M.” Menurut William Barclay : ”Yohanes, ketika melihat hal-hal ini (penglihatan), berada di Pulau Patmos, dihukum kerja paksa di pertambangan oleh Kaisar Domitianus.” “Yohanes menulis kitab Wahyu untuk membesarkan hati orang-orang Kristen abad pertama yang sedang mengalami penderitaan besar.” “Kitab Wahyu awalnya dikirimkan kepada tujuh gereja lokal yang ada di Asia Kecil.”Sedangkan tema dari kitab Wahyu adalah “The victory of Christ and His Church over the dragon (Satan) and his helpers.”
Berkenaan dengan penafsiran kitab Wahyu, George Eldon Ladd sendiri sebagai salah satu ahli Perjanjian Baru mengakui bahwa, “Penafsiran kitab ini adalah yang paling sulit dan rumit dari semua kitab yang ada dalam Perjanjian Baru.” Padahal seperti yang dikatakan Wilbur M. Smith : “Sistem penafsiran yang dianut seseorang akan sangat mempengaruhi pemahaman orang itu mengenai apa yang diajarkan oleh kitab ini.”[4]
Secara umum ada empat sistem penafsiran dasar yang berbeda terhadap kitab Wahyu, yaitu:[5] penafsiran preteris, historis, futuris, dan simbolis atau idealis.
a. Penafsiran Preteris.
“Pandangan ini melihat simbolisme kitab Wahyu hanya berhubungan dengan kejadian-kejadian pada saat ia ditulis.” “Penafsirannya menekankan bahwa Wahyu adalah produk gereja yang sedang menghadapi ancaman penganiayaan yang dahsyat oleh bangsa Romawi.” “Bagi penganut penafsiran preteris, kitab Wahyu tidak lagi berfungsi sebagai nubuat, dan sama saja dengan tulisan apokalips yang lain di waktu itu, misalnya IV Ezra.” Pemikiran ini berdasakan alasan bahwa “sang pelihat dibuat ngeri oleh kemungkinan-kemungkinan terjadinya kejahatan yang melekat pada kekaisaran Romawi, dan ia memakai bahasa simbolis untuk memprotesnya, juga untuk menyatakan keyakinannya bahwa Allah akan campur tangan untuk memberlakukan apa yang sesuai dengan kehendak-Nya.”
b. Penafsiran Historis.
“Kitab Wahyu, khususnya berbagai nubuat tentang materai, sangkakala dan cawan, mengemukakan berbagai peristiwa tertentu di dalam sejarah dunia yang berkaitan dengan kesejahteraan gereja sejak abad pertama hingga modern ini.” Pandangan ini menganggap “Wahyu menyajikan cerita yang terus menerus tentang segenap periode sejarah.” Sebagai konsekuensinya, sepertinya ”setiap peristiwa penting dalam sejarah agama Kristen diberi bayangan secara luas, hingga kitab Wahyu menjadi semacam kalender peristiwa yang akan terjadi.”
c. Penafsiran Futuris.
Meskipun kelompok ini melihat Wahyu sebagai kitab nubuatan, dan dalam proses penafsirannya lebih dikenal dengan harafiah, namun demikian kelompok ini tidaklah tunggal. Kaum futuris dibagi menjadi menjadi dua : futuris ekstrim dan futuris moderat.
Futuris ekstrim “menafsirkan kitab Wahyu menurut pernyataan dispensasinya tentang dua program ilahi yang berbeda, yaitu bagi Israel dan gereja. Segenap materai, sangkakala dan cawan adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa kesusahan besar ; dan karena hal ini adalah masa “sengsara bagi Yakub” (Yer.30:7), maka sesuai dengan definisinya, hal ini menyangkut Israel, dan bukan gereja.” Kelompok ini lebih dikenal dengan nama dispensasionalis.
Futuris moderat “Wahyu dilihat sebagai gambaran penggenapan tujuan penebusan Allah, yang melibatkan hukuman dan keselamatan.” Golongan ini dengan tegas mengambil posisi tentang kitab Wahyu : “Kitab Wahyu adalah kitab nubuat. Menyangkal kenyataan ini berarti menyangkal gaya penulisan, tema dan berbagai peristiwa yang disebutkan dalam kitab ini.”
d. Penafsiran Simbolis atau Idealis.
“Pandangan ini menandaskan bahwa tujuan Wahyu ialah menopang orang-orang Kristen yang teraniaya dan menderita untuk bertahan sampai akhir hidup mereka.” Golongan ini “melihat Wahyu sebagai buku yang hanya berisi lambang-lambang mengenai kuasa-kuasa rohani yang bekerja dalam dunia. Berita buku Wahyu memberi kepastian kepada orang-orang saleh yang menderita tentang kemenangan akhir dari Allah dan tidak mengandung prediksi tentang peristiwa-peristiwa konkret di masa lampau atau di masa yang akan datang.”
Menurut kelompok ini “tujuan penulisan kitab Wahyu bukan membina gereja mengenai masa depan, bukan untuk menubuatkan berbagai peristiwa tertentu, tetapi sekadar untuk mengajarkan sejumlah prinsip rohani yang mendasar.”
Selanjutnya, untuk memahami makna teologis dari milenium, sebenarnya konsep tentang kerajaan mesianis yang terbatas merupakan pengharapan orang Yahudi. Mereka mengharapkan suatu keadaan yang lebih sempurna dari sekarang. Namun dalam konteks Perjanjian Baru hal ini tidak bisa diterapkan. “Gagasan-gagasan Yahudi ini tidak membantu penafsiran ajaran PB, karena PB tidak seperti orang-orang Yahudi, tidak berpikir tentang suatu zaman baru yang mulai hanya pada masa yang akan datang. Menurut PB, zaman baru itu sudah mulai dalam Kristus.”[6]
Secara harafiah kepentingan adanya milenium di bumi, menurut Peter H. Davids didasarkan pada tiga alasan : “Pertama, milenium merupakan ganjaran bagi para martir ( Wahyu 13:15). Sekarang mereka mendapatkan ganjaran, yakni kehidupan yang kekal dan memerintah bersama Kristus ; Kedua, milenium menunjukkan kemenangan Kristus. Kekuasaan-Nya selama seribu tahun akan mempertahankan pemerintahan yang telah dianugerahkan Allah kepada-Nya dan yang sekarang tersembunyi di surga ; Ketiga, milenium mempertahankan pemerintahan Allah yang benar, sejarah penebusan. Mungkinkah Allah tidak bisa memerintah dunia ini secara lebih baik dari umat manusia (dan Iblis) ? Milenium menunjukkan bahwa Allah dapat memerintah secara benar dan adil dalam sejarah. Dia tidak perlu mengakhiri sejarah begitu saja. Barangkali inilah saatnya orang akan mengalami pemerintahan adil yang telah ditolak oleh dunia (tetapi sebenarnya dirindukan) sejak Kejatuhan manusia.”[7]
Sebenarnya diantara para ahli Perjanjian Baru memiliki pemahaman yang sama tentang pemerintahan Kristus atas umat-Nya. Namun yang menjadi masalah tetap pada arti harafiah dan figuratifnya milenium. Bagi G. E. Ladd : “Apa pun latar belakang historis di balik konsep ini, kita masih harus mengajukan pertanyaan tentang segi kepentingan teologisnya dalam Perjanjian Baru. Di sini kita tidak menemukan petunjuk, karena Perjanjian Baru tidak pernah menjelaskan tentang perlunya kerajaan sementara ini, kecuali hanya menyebutkan bahwa ini penting dalam mewujudkan pemerintahan Kristus ( I Kor 15:24 dst ). Sebenarnya, inilah yang menjadi salah satu alasan teologis tentang pentingnya kerajaan yang demikian. Kristus sekarang sedang memerintah sebagai Tuhan dan Raja, namun pemerintahan-Nya masih terselubung, tidak kelihatan, dan tidak dikenal oleh orang-orang beriman. Pengertian dunia hanya melihat pemerintahan Kristus sebagai potensi yang belum terealisir. Jadi, jika masa sekarang adalah masa pemerintahan Kristus yang terselubung dan kemuliaan yang tersembunyi dan masa akan datang adalah masa pemerintahan Allah yang menyeluruh, maka kerajaan milenium adalah manifestasi kemuliaan Kristus ketika kekuasaan, yang sekarang telah dimiliki-Nya namun belum nampak, yang akan diserahkan-Nya kepada Bapa pada Masa yang Akan Datang, akan diperlihatkan secara nyata di dalam dunia.” Kontradiksi dengan konsep ini Donald Gutrie menyatakan : “ Memang, bahwa Kristus akan memerintah tidak dapat disangkal, karena hal ini didukung oleh perikop-perikop Perjanjian Baru lainnya ( I Kor 15:25 ; 2 Tim 2:12). Tetapi kita harus hati-hati, karena kerajaan seribu tahun hanya disebutkan dalam Wahyu 20:1-10 dan tidak disebutkan lagi dalam bagian PB lainnya. Dalam wahyu 20:1-10 itu konteksnya bersifat simbolik, yang berarti tidak dapat digunakan sebagai kunci untuk penafsiran perikop-perikop lain yang tidak bersikap simbolik.”[8]
Sebagai tambahan, yang pertama kali diperkirakan timbulnya pandangan ini, ialah oleh Agustinus tahun 354-430 M, melalui tulisannya City of God, dia berpendapat secara Literal bahwa Tuhan Yesus akan datang seribu Tahun setelah kenaikan, tetapi ketika seribu Tahun sudah lewat dan tanpa kedatangan Tuhan Yesus, mereka kembali menafsirkan tapi secara rohani dengan pendapat Kerajaan Seribu Tahun adalah seluruh masa antara kedatangan Pertama sampai dengan kedua kalinya.
2.2.2.      Pandangan Amilenialisme
Pandangan ini memahami bahwa masa seribu tahun bukan suatu durasi harafiah, melainkan menunjuk kepada suatu masa yang sudah terjadi, sedang berlangsung dan yang terus berlangsung hingga kegenapannya. Masa ini merupakan masa antara kedatangan Kristus yang pertama dengan kedatangan-Nya yang kedua. Kerajaan Allah sebagai pemerintahan Kristus atas orang-orang percaya, oleh pandangan ini, saat ini juga sedang hadir di dalam dunia melalui Firman dan Roh Kudus. Pada saat yang ini juga orang-orang percaya sedang terus menantikan penyempurnaan kerajaan Allah di masa yang akan datang di dalam bumi yang baru. Mereka menyadari meskipun Kristus telah menang atas dosa dan iblis, namun kuasa iblis tetap ada bersama-sama dengan kerajaan Allah hingga akhir zaman. Kita telah menerima berkat-berkat eskatologi pada masa sekarang, tetapi tetap menantikan penggenapan dan kesempurnaannya pada masa yang akan datang saat Kristus datang kedua kalinya. Oleh karena itu seorang amilenialis menantikan digenapinya penyebaran Injil ke seluruh bangsa dan pertobatannya sebelum kedatangan Kristus yang kedua.[9]
Para penganut Amillenialisme percaya kerajaan Kristus sudah ada sejak zaman kedatanganNya yang pertama dan sampai kedatangan yang kedua kali. Dan Amillenialisme berpendapat bahwa Kerajaan Seribu Tahun itu tidak ada sebelum dunia berakhir. Dan dikalangan Amillenialis ada dua perbedaan pendapat mengenai Kerajaan Seribu Tahun. :
a.  Pendapat pertama, Penggenapan nats-nats millenium terjadi dimasa kini dengan adanya gereja dibumi.
b.   Pendapat kedua, menyatakan penggenapan itu terjadi dengan adanya orang-orang suci sekarang ini di surga
Dan kedua pandangan ini tetap sepakat/setuju bahwa tidak ada kerajaan Seribu Tahun dibumi dimasa mendatang. Dan mereka tidak percaya periode Kesusahan Tujuh Tahun Harafiah sebelum kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, dan Periode Pemerintahan Seribu Tahun secara Literal setelah kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali.
Amilenialis memahami kedatangan Kristus yang kedua sebagai satu peristiwa tunggal, dan bukan satu peristiwa dengan dua tahap di dalamnya. Pada saat Kristus datang kembali, akan terjadi kebangkitan umum, bagi orang-orang percaya maupun tidak. Setelah kebangkitan, orang-orang percaya yang masih hidup pada saat Kristus kembali, akan diubahkan dan dimuliakan. Kedua macam orang percaya ini, yaitu orang percaya yang dibangkitkan dan orang percaya yang diubahkan, akan diangkat dan bertemu dengan Tuhan di awan-awan. Setelah "pengangkatan" orang-orang percaya ini, maka Kristus akan menyudahi kedatangan-Nya kembali dengan melaksanakan penghakiman akhir. Sesudah itu, orang-orang yang tidak percaya akan dicampakkan ke dalam penghukuman kekal, sedangkan orang-orang percaya akan menikmati segala berkat di dalam langit dan bumi yang baru selama-lamanya.[10]
2.3.       Gereja-Gereja yang Menganut Paham Amileanisme
2.3.1.      Gereja Katholik[11]
Gereja Katolik sendiri tidak menyebutnya sebagai amillennialism, tetapi "ecclesiological interpretation of the Millennium." Beberapa Bapa Gereja sebelum konsili Nicea condong menginterpretasilan secara literal seperti ini tetapi kemudian, interpretasi ini digantikan dengan interpretasi allegorikal yang mengartikan 1000 tahun ini sebagai simbol, sebagai 'jangka waktu yang cukup lama', sebagaimana teks angka '1000' yang lain dalam Alkitab merupakan simbol dari jumlah yang banyak/ ribuan. Interpretasi ini diajarkan oleh St. Agustinus: ia mengartikan bahwa 1000 tahun kejayaan ini dimana Iblis diikat dan para kudus memimpin bersama Kristus ini sebagai Gereja Katolik yang masuk ke dalam sejarah manusia untuk menebarkan nilai-nilai Injil. Jadi keseribu tahun kejayaan ini mengacu pada era Christendom.
Kristus telah mengikat Iblis dengan korban sengsara dan salib-Nya. Namun demikian, Iblis terus berusaha mempengaruhi banyak bangsa, sampai Gereja perlahan-lahan menyebar dan mempengaruhi bangsa-bangsa untuk bertobat dan menerima nilai-nilai Injil, walaupun dalam perwujudannya tetap terdapat pergumulan. Maka, ke 1000 tahun tersebut adalah untuk diartikan sebagai simbol, yang mengacu pada arti jangka waktu yang lama. sedangkan pelepasan ikatan Iblis itu dihubungkan dengan kejayaan singkat suatu apostasy yang besar yang memuncak pada kejayaan Anti-Kristus.
2.3.2.      Gereja Kristen Protestan Angkola[12]
GKPA percaya bahwa kemenangan Kristus yang meyakinkan atas dosa, kematian, dan setan telah terjadi selama kedatangan pertama-Nya, maka pemerintahan milenial Kristus adalah sekarang.  Kerajaan Allah sudah hadir sekarang di dunia ketika Kristus yang menang sedang memerintah umat-Nya dengan Firman dan Roh-Nya.  Namun juga menantikan kerajaan yang sempurna dan mulia yang akan datang dalam bumi yang baru.  Kerajaan si jahat akan tetap ada di samping kerajaan Allah sampai akhir jaman (Matius 13:24-30, 36-43).  Bagi GKPA, janji-janji Perjanjian Lama sudah dipenuhi dalam kedatangan pertama Kristus yang menentukan (the already) dan akan disempurnakan pada kedatangan-Nya yang kedua (the not yet).
Sebelum kedatangan Yesus yang kedua kali, akan ada hari-hari terakhir di mana kejadian-kejadian di bawah ini akan terjadi :
·        Pemberitaan Injil sebagai suatu kesaksian kepada bangsa-bangsa (Matius 24:14, 28:18-20, Roma 10:9-17) berlanjut di sepanjang milenium melalui gereja-Nya.
·        Pertobatan Israel sebagai orang-orang pilihan pun terjadi melalui pemberitaan Injil dalam milenium ini juga, karena Israel termasuk di antara “bangsa-bangsa” (tidak ada pengecualian).
·        Konflik yang terus berlangsung antara kerajaan Allah dan kerajaan setan memunculkan penganiayaan, kemurtadan, dan munculnya seorang pribadi Antikristus sesaat sebelum kedatangan yang kedua. Perang, gempa bumi, dan kelaparan sebagai petunjuk-petunjuk penghakiman Allah akan sering terjadi selama milenium masa gereja dan akan makin sering pada “hari-hari terakhir”.

III.        Kesimpulan
Dari pemaparan diatas bahwa kerajaan 1000 tahun atau millennium merupakan salah satu hasil dari doktrin eskatologis yang terdapat Kitab Wahyu. Dari pemahaman tentang millennium tersebut maka, lahirlah beberapa pandangan akannya, salah satunya ialah paham Amileanisme. Paham ini memandang bahwa pengertian tentang kerajaan 1000 tahun tersebut tidaklah dapat dipahami secara harfiah karena sebenarnya Kerajaan tersebut sudah ada sekarang sejak Kebangkitan Kristus hingga kepada kedatangaanNya yang kedua kali. Paham ini dianut oleh Gereja Katholik, Aliran Lutheran, Calvinis.









IV.        Daftar Pustaka
Boettner, Loraine, The Millenium, USA : The Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1984
Hoekema, Anthony A., Alkitab dan Akhir Zaman, Surabaya: Momentum, 2004
J.j, De Heer, Tafsiran Alkitab Wahyu Yohanes, Jakarta: BPK-GM, 1973
Roberts , Alexander and James Donaldson, The Ante-Nicene Fathers: Translations of the Writings of the Fathers Down to AD 325, Grand Rapids, Mich: Eerdmans, 1987
Walvoord , John F., Pedoman Lengkap Nubuat Alkitab, Bandung: Kalam Hidup, 2003
Willmington, H.L., Eskatologi, Malang: Gandum Mas, 1994
Hasil Wawancara dengan Pendeta A. Siregar M.Th tanggal 17 November 2015


[1] Loraine Boettner, The Millenium, (USA : The Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1984) 3-4
[3] De Heer J.j, Tafsiran Alkitab Wahyu Yohanes, (Jakarta: BPK-GM, 1973), 13
[4] De Heer J.j, Tafsiran Alkitab Wahyu Yohanes, 15-16
[5] H.L. Willmington, Eskatologi, (Malang: Gandum Mas, 1994), 24-26
[6] John F. Walvoord, Pedoman Lengkap Nubuat Alkitab, (Bandung: Kalam Hidup, 2003) 806
[7] Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, (Surabaya: Momentum, 2004) 140-141
[9] Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, 230-234
[10] Loraine Boettner. The Millenium, (USA: Presbyterian And reforemed Publising company, 1984), 114-115
[11] Alexander Roberts and James Donaldson, The Ante-Nicene Fathers: Translations of the Writings of the Fathers Down to AD 325, (Grand Rapids, Mich: Eerdmans, 1987), 764-765
[12] Hasil Wawancara dengan Pendeta A. Galingging S.Th tanggal 17 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar